Jumat, 07 Desember 2012

Haruskah Sahabat Demi Nilai ?



                Gue sama sekali ga bermaksud untuk curang. Gue Cuma takut mereka marah karna gue ngumpulin tugas Vivi. Gue sedikit nyesel kenapa ga gue aja yang nganterin Vivi ke kamar mandi? Supaya penyesalan gue ga sedalam ini. Mungkin gue emang salah karna buku itu gue yang pinjem sebelumnya, dan karna saat itu gue duduk didepan guru, jadi gue fikir gue gak mungkin nyalin tugas guru itu didepan gurunya. Jadi gue sengaja pindah ke belakang . tapi ternyata dibelakang penuh, jadi gue harus duduk bertiga sama Sari dan Nia. Dan pas banget gue baru lanjutin nulis, guru itu minta tugasnyua dikumpulin saat itu juga. Sari yang disamping gue langsung aja nyerobot minjem buku Vivi juga. Gue ga enak dong kalo ngambil dari dia? Gue ga mau dibilang egois. Dan gue juga ngerti gimana paniknya dia saat itu. Tapi gue khawatir Vivi marah. Terus gue harus apaa? Dengan polosnya, gue kembali ke tempat duduk gue saat Vivi tiba dari kamar mandi. Tanpa pikir panjang, gue menyodorkan sebuah pertanyaan untuk Vivi, “Vi, kalo bu Nina bilang tugasnya dikumpulin sekarang, lu lebih milih ngumpulin sendiri atau nungguin bareng temen-temen yang lain?” , parahnya, dia langsung ngeluarin tampang galau dan panik, dia nyari-nyari bukunya dan nanya balik sama gue “Buku gue mana?” gue jawab cepet ajah “Lagi dipinjem sama Sari”, matanya langsung jelalatan mencari si kurus berambut keriting dan berkulit putih bernama Sari itu ke barisan belakang, lalu dia memandang melas buku tulis miliknya yang menjadi pedoman Sari mengerjakan tugas dibuku tulisnya. Gue pun langsung mengalihkan padangannya dengan meminta jawaban atas pertanyaan gue “Lu pilih yang mana Vi?” tanya gue dengan tampang yang gak  kalah melas dan penuh harapan pengertian darinya, dia akhirnya menjawab jutek “Yaudah nunggu yang lain aja” gue menghela nafas dalam-dalam dan tetep perhatiin tampang Vivi yang tiba-tiba BT abiss.
                Hari terus berlalu, belakangan ini gue jarang main lagi sama Vivi. Dia jadi lebih sering main sama Nia dibanding sama gue, padahal jelas dari dulu yang sekelas sama dia gue dan selama hampir 2 tahun gue duduk bareng sama dia, bagaimana mungkin dia lupa sama gue? Hellow, gue selalu didepan mata guys. Gue mulai agak muak dengan caranya dia yang kayak gini, akhirnya gue berusaha ciptakan suasana baru dan mencari topik yang mungkin menarik perhatian Vivi. Sampe akhirnya gue mulai seperti biasa lagi sama dia. Tapi setelah gue dapetin lagi perhatiannya diluar jam sekolah, dia mulai terlihat cuek saat belajar dikelas. Biasanya dia selalu mau berbagi ilmu sama gue dan ingetin gue kalo gue lagi ngantuk atau iseng ngelakuin hal yang ga seharusnya gue lakuin kayak nulis-nulis di buku, atau smsan, atau sebagainya. Sebenernya gue ga begitu  mau mengerti apa yang jadi masalahnya dia. Tapi kalau ini adalah tentang gue, apa gue harus diem aja? Dia itu type orang yang kalem. Kalo marah pun dia halus. Tapi sehalus apapun dia, gue tetep bisa rasainlah perasaan keselnya dia sama gue. Ya tuhan, Vivi mafin gue... 
                Sekarang, apakah ini artinya gue harus berjuang sendiri untuk menempuh soal-soal yang akan menghantam otak gue? Gue belom siap, belom bisa apa-apa, ibaratnya tuh gue masih kayak anak TK yang udah bisa nulis tapi belom ngerti apa yang gue tulis. Gue masih butuh bimbingan, tapi haruskan gue pergi Les Bimble sedangkan sahabat-sahabat gue banyak yang pinter? Bukan berarti gue  memanfaatkan, tapi inget guys, kita sama-sama mau sukses, dan inget ga sih dengan perjanjian yang pernah kita buat kalau kita sama-sama sukses dibidang masing-masing? Kelak kita akan saling membutuhkan dan saling menggratiskan. Terus kalo sekarang begini keadaannya, gue harus apa? Haruskan gue kubur dalem-dalem impian gue? Gue selalu yakin, gue ga akan bisa tanpa teman disamping gue., buat ingetin gue, buatdukung gue, buat jadi temen diskusi, dan buat jadi tempat bertanya. Walaupun kita ga mungkin saingan, setidaknya kita ga terlalu jauh guys.
                Oke kalau ini mau kalian, terutama Vivi. Gue tau kalian juga pada akhirnya akan membela Vivi, karna emang gue yang salah. Terima kasih udah dukung gue selama ini. Sejujurnya, ilmu dan support yang lu kasih buat gue itu bener-bener berguna banget buat gue. Lu udah bikin gue berada ga jauh dari level lu sekarang, karna sebelum ini level kita sangat berjauhan dan ga sedeket ini. Terima kasih juga atas segala perhatian yang pernah lu kasih untuk gue. Dan maaf kalo gue udah nyusahin dan bikin lu khawatir akan level lu. Percayalah, ga mungkin menyaingi lu dengan waktu sesingkat ini. Jadi tolong, jangan menjauh untuk membuat gue menjadi lebih jauh lagi.. kita masih punya waktu 3 bulan untuk memperbaiki semua itu. Gue sayang kalian XII IPA 2 :*

Minggu, 02 Desember 2012

Dream Message

Minggu, 02 Desember 2012   00:36               
               
                Menurut cerita, Orang-orang yang pernah didatangi oleh mereka yang sudah meninggal dengan membawa pesan singkat untuk orang-orang yang masih hidup, membuat banyak orang yang mengalaminya kebingungan. Karna pesan yang disampaikan sangat sesuai dengan kejadian yang sebenarnya terjadi. Tak ada satupun orang yang menyangka bahwa omongan dalam mimpi dari orang yang sudah meninggal itu sangat tepat. Merekapun akhirnya banyak yang percaya bahwa orang yang sudah meninggal itu bisa melihat makhluk hidup dari alamnya sendiri. Namun ada beberapa orang yang mengatakan bahwa yang menyampaikan pesan itu adalah makhluk lain yang tidak ada hubungan sama sekali dengan orang yang sudah meninggal yang merubah wujudnya menjadi orang yang sudah meninggal. Tapi apakah benar, mimpi itu bisa jadi kenyataan?
                Baru saja Seno membantu mengganti handphoneku yang hilang beberapa minggu yang lalu, kini Seno berencana untuk membelikanku handphone baru untuk menggantikan handphone milik ibunya yang sekarang aku gunakan. Aku sempat tidak setuju dengan bantuannya karna menurutku, itu menjadikanku sangat ketergantungan dan mennjadi seperti orang yang tidak tau terimakasih dan tak mau bersyukur. Padahal dengan adanya handphone bekas ibunya ini, aku sudah sangat merasa berhutang budi padanya. Aku memang tidak bisa berbuat apa-apa untuk membalas kebaikannya, tapi aku juga ingin berbuat baik kepadanya. Sekarang, belum saja aku berbuat baik kepadanya, dia sudah ingin berbuat baik lagi kepadaku. Aku hanya ingin jujur kalau keypad handphone itu memang keras. Dan karna itu Seno terus memaksaku untuk menyetujui bantuannya untuk membelikanku handphone dengan cara menabung. Sampai akhirnya akupun menyetujui nya dengan catatan, dia harus mampu membeli bensin setiap harinya dan ada cadangan uang untuk makan pastinya.
                Baru berapa hari kami mengumpulkan uang bersama, walaupun dominan lebih banyak uang milik Seno, aku langsung mendapat cerita yang hampir tidak masuk akal darinya. Suatu pagi, ketika ia menjemputku untuk berangkat sekolah, dia mengendarai motor sambil bercerita kepadaku bahwa ibunya telah memimpikan nenek Seno yang datang dengan membawa pesan. beliau berpesan kepada ibu Seno untuk menyuruh Seno mengingatkan aku tentang bahaya diluar, terutama ketika sedang tidak bersama Seno. Karna apabila aku sampai kenapa - kenapa, maka Seno adalah orang pertama yang akan disalahkan oleh semua orang. Aku sempat bingung dengan cerita itu, membuatku 50:50 antara percaya atau tidak. Tapi memang nasehat yang diberikan tidaklah salah. Yang aku bingung hanya, “kenapa harus Seno yang disalahkan?” fikiranku langsung bercampur aduk dan tiba-tiba saja melayang difikiranku tentang kejadian handphoneku yang dijambret orang. Ya aku akui saat itu memang kesalahanku sendiri. Tapi keluargaku tidak sama sekali menyalahkannya, begitu pula teman-temanku. Tapi memang malah Seno yang merasa bersalah dan sendiri menggantikan handphoneku.
                Tuhan, semoga tak ada hal yang membuat kami berpisah kecuali maut. Semoga mimpi itu hanyalah nasehat biasa. Bukan berarti musibah itu sudah berada disampingku. Amin. Meskipun jujur, sejak mendengar cerita mistis itu, hidupku menjadi tak karuan, aku menjadi seperti orang lingung. Tanganku seriang terkena pisau, tertusuk benda tajam, memecahkan gelas. Entah mengapa hal itu terus mengiang ditelingaku.itu bagaikan wasiat dari nenekku sendiri. Padahal jelas aku tidak pernah meliha wujud neneknya Seno.  Setiap kali aku membayangkan wajahnya pun, bulu kudukku selalu merinding seperti merasa sedang diawasi untuk kesekian kalinya, bahkan ketika aku menulis cerita ini.

Senin, 05 November 2012

Nano - Nano Sweet Seventeen



Jum'at, 02 November 2012
            Hari ini adalah hari yang ku tunggu, bertambah satu tahun usiaku, dan bahagialah aku. Aku baru pulang latihan sekitar jam setengah 1 pagi. Teman-teman latihanku menyiram kepalaku menggunakan air minum yang tak habis saat latihan tadi. Mereka juga sempat menyindir masalah traktir, kebetulan saja aku sedang membawa uang lebih, jadi ku sempatkan waktu istirahatku untuk mentraktir mereka makan pagi itu. Mereka memilih tempat warkop (warung kopi) didekat perempatan jalan. Sesampainya disana, aku menyadari bahwa ada seseorang berambut kriting menggunakan baju berwarna putih dan memiliki kulit putih kecoklatan, kira-kira umurnya 25 tahunan lah. Laki-laki itu sedang memperhatikanku sejak awal aku menginjakkan kakiku didepan warkop. Entah apa yang ia pikirkan, aku tidak mau terlalu perduli. Yang ku pikirkan saat itu hanya bersenang-senang dihari ulang tahunku dan berharap sweet seventeen milikku lancar dengan kebahagiaan-kebahagiaan yang abadi. Ketika aku hendak masuk ke dalam, seorang teman dari si rambut keriting juga perlahan memperhatikanku secara keseluruhan. Mereka begitu aneh menurutku, tapi ya sudahlah mungkin mereka hanya heran mengapa ada wanita berkeliaran di antara malam dan pagi seperti itu. Saat aku sedang makan bubur kacang dan minum segelas air putih hangat, hatiku sedikit tenang. Sampai beberapa polisi mulai datang dan mengelilingi tempat dudukku, aku mulai tidak nyaman dengan kondisi itu dan sesegera mungkin menyudahi acara makannya. Lagi pula waktu terus berjalan sampai menunjukkan pukul 1 pagi. Akupun bergegas pulang dan berpamitan dengan semua teman-temanku. Pagi itu kebetulan Seno sedang menjemputku, jadi aku pulang bersamanya. Aku tau, sebenarnya dia hanya ingin memberi kejutan hadiah ulang tahun. Tapi kalau dia sampai harus menjemputku pukul segitu. Sepertinya itu berarti aku sangat special yah? Hehe AMIN deh.
            Diperjalanan pulang, ada 2 orang yang searah denganku, tapi sebelum sampai di pasar, kami sudah terpisah karna mereka berdua membawa motor dengan mengebut sekitar 120 km per jam. Seno bilang, dia ingin memberiku sesuatu, tapi dia bingung dimana tempat yang tepat untuk memberikannya. Akhirnya dia memutuskan untuk sedikit berbelok dari arah pulang. Namun tanpa diduga-duga, tempat yang didepannya begitu ramai, ternyata dalamnya sangat sepi bahkan tidak ada orang sama sekali. Aku dengan PD-nya memainkan handphoneku sambil memberi kabar kepada ayahku bahwa aku sedang diperjalanan pulang. Setelah aku membaca pesan dari ayahku yang memesan untuk berhati-hati, langsung saja datang seseorang berambut keriting dan baju berwarna putih bersama dengan temannya yang sedang memboncenginya menggunakan motor meatic, dengan cepat laki-laki yang dibonceng itu merebut handphone dari tanganku dan setelah mendapatkannya, mereka segera melaju dengan kecepatan sekitar 160 km per jam. Seno tidak bisa mengejar lebih jauh karena kondisi jalanan yang terdapat beberapa polisi tidur. Dia lebih mencari keselamaatanku terutama yang tidak menggunakan helm saat itu. Aku senang mendengarnya dan membuatku sedikit tenang, namun saat teringat dengan handphone aku kembali berontak dan merengek meminta Seno untuk mengejar jambret yang tidak tahu malu di tahun 2012 yang keceh itu. Dengan polosnya mereka melaju ke jalan raya dan menghilang begitu saja.
            Seno mulai mengajakku pulang dan berniat untuk tidak jadi memberikan hadiah untukku malam itu. Tapi aku berfikir, kalau tidak malam itu juga, lalu untuk apa dia menjemputku? Aku pun berusaha menenangkan diriku sendiri dan menahan rasa kecewaku yang sangat mendalam. Aku mulai berfikir ke arah warkop tadi. Aku teringat dengan 2 orang laki-laki yang sempat memperhatikanku secara detail. Aku dan Seno memutuskan untuk kembali kesana walaupun jaraknya agak jauh. Namun, sesampainya disana, mereka sudah tak nampak dan warkop itu mulai sepi dengan polisi. Akupun mencoba pasrah dan mengikhlaskan handphoneku, nomor kartunya dan memory cardnya. Meskipun sesekali aku memperhatikan secara detail orang-orang yang berada dipinggir jalan dan di tempat tongkrongan-tongkrongan yang kami lewati. berharap menemukan si penjahat dan dapat menggerebeknya sampai puas hahaha. Maklum, masih baru saja terjadi.
            Diperjalanan pulang, Seno terus memaksaku untuk pulang, tapi aku sama-sekali tidak mau usahanya sia-sia. Aku berusaha dengan sekuat hati untuk tersenyum seperti layaknya tidak terjadi apa-apa. Akhirnya dia mulai memberikan aku mawar merah kesukaanku. Jujur saja hatiku mulai sedikit tenang saat itu, aku sempat tidak memikirkan apa-apa lagi selain dirinya. Sungguh kebahagiaan yang tak tertandingi apabila diberikan bunga dimoment special seperti itu. Beberapa menit setelah memberikan bunga, dia menghentikan laju motornya dipinggir jalan dan menyuruhku membelakanginya. Dia memasangkan kalung ber inisial “Z” ke leherku, dia sempat menggumam karna kurangnya fasilitas lampu ditempat kami berhenti. Namun dengan kekuatan matanya yang hanya tinggal beberapa watt saja itu, dia berhasil memakaikan kalung untukku. Setelah itu, dia memasukkan sebuah kado kedalam tas ransel ku. Aku melihat bentuknya yang seperti bungkusan buku diary, dia banya berharap kado itu dapat menemaniku sebagai pengganti handphone. Tapi aku tidak mau memikirkannya, Seno berjalan sedikit kedepan dan mengeluarkan sebuah roti sobek rasa bertabur keju yang awalnya bertuliskan “Happy Sweet Seventeen” kemudian menjadi rusak karna kaget mendengar teriakanku saat aku dijambret tadi. Tapi tak apalah, aku menghargai itu dan lagipula itu bukan salahnya. Saat aku memegang roti, dia segera mengambil lilin dan menyalahkan sumbunya dengan korek api. Aku membuat permintaan dan segera meniup lilin tersebut. Suapan peramaku untuk Seno dan suapan keduanya untuk aku karna hanya ada kami disana.
            Sesampainya dirumah, aku segera menceritakan semua kejadian kepada ayahku secara detail walaupun ada yang sedikit ngawur. Aku terdiam dan meneteskan air mataku dikamar sambil berharap waktu dapat berputar kembali.

Minggu, 28 Oktober 2012

Skala Prioritas



Sorry guys , gue lebih memilih mengejar kebutuhan gue dari pada keinginan gue.
                Bokab gue adalah seorang guru orahraga, dia bisa lakuin apapun yang berhubungan dengan fisik. Dari kecil, gue selalu di ajak main sama dia. Paling sering, gue diajak main badminton, disana fisik gue bener-bener dibentuk abis. Gue disuruh lari bolak balik sambil bawa-bawa kok, gue main skipping main lama-lamaan sama dia, dan gue dilatih seperti latihannya atlit-atlit badminton internasional (haha lebay). Dengan bermodalkan semua itu, gue mulai menyukai kegiatan dalam bidang     olahraga. Lebih tepatnya sih, gue jadi lebih suka kegiatan aktif yang pake praktek daripada kegiatan pasif yang cuma degerin guru ngomong sambil duduk manis di belakang temen-temen gue. Tapi  jujur, nilai aktif yang gue dapet dari bokab gue itu, sekarang bener-bener berguna untuk kehidupan gue, terutama dalam bersosialisasi dan berprestasi. Ngga tau kenapa nilai keaktifan gue mulai pudar  saat gue masuk kelas 5 SD. Mungkin karna gue pindah ke pesantren saat itu, sehingga gue beranggapan kalo gue harus menjadi anak yang anteng, manis dan kalem.
                Lulus SD, gue ga mau nerusin disana, kehidupan gue bener-bener terbatas. Lapangan aja dipagerin. Masa gue ga boleh lari-larian dilapagan? Tapi gapapa, bokab gue setuju kok kalo gue ga nerusin  disana, karna disana memang biayanya cukup mahal.  Terus akhirnya gue lanjutin sekolah menengah pertama gue di Tangerang. Tapi sayang, di sekolah itu cuma ada beberapa ekskul aja. Dan yang paling menonjol disana cuma ekskul paskibra. Akhirnya gue mutusin untuk getol ngejalanin ekskul itu ajah. Ya walaupun sempet ngikutin ekskul qori. Tapi tetep ajah, gue ditakdirinnya bukan disana, hahaha. Gue tetep getol di paskibra.
                Saat lulus SMP, gue bertekad untuk cari pengalaman sebanyak-banyaknya di SMA. Karna kalo nunggu kuliah, menurut gue itu sangat terlambat dan erlalu menunda rasa penasaran gue. Jadi gue fikir, cukup susah-susah di SMA ajahlah. Walaupun gue tau, pada akhirnya kehidupan SMA dan perkuliahan itu sebenernya jauh berbeda. Tapi setidaknya kan gue punya basic dasarnya, ya toh? J . Kebetulan banget gue masuk salah satu sekolah negeri di Tangerang. Dan untuk sampe kesana gue butuh waktu sekitar 10 menit dari rumah. Gue ngerasa cocok banget deh masuk disana , karna eskul nya lumayan banyak dan saat gue masuk kesana, semua ekskul masih aktif. Katanya, disana boleh ambil lebih dari satu ekskul. Jadi gue ambil aja yang sekiranya gue udah punya basicnya (Biar ga dari nol, hehe). Namun, baru hari pertama masuk ajah gue udah kalabakan ngolah waktunya, gue ga kuat lah. Akhirnya gue putusin ekskul inti gue cukup satu. Dan satu lagi yang pling penting itu OSIS. Disela-sela kegiatan osis, ada senior paskibra satu persatu berdatangan mengajak gue untuk bergabung. Awalnya gue menolak keras karena gue fikir, dasar paskibra yang gue dapet di smp aja udah cukup keras, gimana di SMA ? haduuuh gue piss aja deh kakak J. Tapi gue mulai ga enak sama mereka yang ngedatengin gue, karna mereka keliatan butuh personil banget. Jadi gue usahain deh. Gue coba dateng sekali, tapi ternyata gue emang orangnya ga enakan kali yah. Jadi keterusan deh, hehe.
                Semua kegiatan yang gue jalanin dari kelas 1 sampe kelas 2 itu, gue nikmatin senikmat mungkin.. sampe akhirnya, sahabat-sahabat gue ngajakin gue masuk beladiri pencaksilat diluar sekolah. Sebenernya gue menolak habis ajakan itu, tapi ternyata mereka tidak menyerah begitu saja, mereka meminta tolong sama nyokab gue buat nyuruh gue masuk kesitu.  Yah, karna kunci surga ada dielapak kaki ibu, jadi gue turutin aja deh. Waktu pertama kali gue nyoba, rasanya tuh nyaman banget dan gue ngerasa dapetin tantangan yang selama ini gue cari-cari. Tapi lama-kelamaan, gue mulai rasain gimana capeknya ngurusin kegiatan disekolah yang menumpuk ditambah dengan ekskul diluar sekolah yang sangat memeras tenaga. Jujur gue capek, setiap gue habis latihan pencaksilat itu pasti mengucur keringat ditubuh gue. ditambah lagi, waktu naik kekelas 3 , gue pindah rumah ke lokasi yang bikin gue jadi lebih jauh lagi dari sekolah dan tempat latihan gue. Porsi waktu latihan pencak silat yang bisa sampe jam 00.00 bahkan lebih itu menyita waktu tidur gue dan bikin gue selalu terlambat bangun, sampe gue harus gerak cepat untuk menuju sekolah.
                Ketidaknyamanan gue dengan kondisi yang seperti ini, mulai sedikit mereda saat gue diajak untuk menjadi seorang atlit beladiri lewat lsebuah pertandingan. Semua orang disekitar gue, mendukung hal tersebut dan mereka berharap banyak tentang itu. Setelah gue jalanin proses latihannya, ternyata koordinator lomba disana memutuskan untuk menunda pertadingan sampai akhir idul fitri. Tapi ternyata , setelah idul fitri, gue kehilangan kabar. Ga ada konfirmasi apapun lagi masalah pertandingan itu. Tadi nya gue sempet mikir kalo pertandingannya batal, tapi ternyata, sehabis menunaikan ibadah idul adha, tiba-tiba gue dapet sms kalo pertandingannya Cuma tinggal 4 hari lagi. Gue bukannya ga seneng, tapi gue jadi galau, gue udah kelas kali, dan seharunya gue emang Cuma fokus ke sekolah gue ajah. Tapi disisi lain, secara tidak langsung, gue mengecewakan orang-orang yang udah support gue. Sampe ketua pencaksilat yang pernah janjiin kami untuk beliin matras untuk sambung itu sekarang jadi seperti tidak berharga lagi. Tapi untuk kepastiannya, gue minta pendapat dari 3 orang yang menurut gue bisa kasih saran terbaik, orang pertama yang gue tanya itu naya, gue jelasin alasan gue, dan dia malah ikutan galau. Kedua gue tanya sama kak iman, tapi jawaban dia masih rancu, karna menurut dia “Pendidikan itu penting dan pertandingan itu tidak diwajibkan”. Karna gue belom dapet jawabanya, jadi gue lanjutin nanya sama vita, dan dia bilang , gue harus mementingkan sekolah. Lagian siapa suruh ngadain lomba di hari biasa, udah tau semua peserta masih pelajar, ckck.
                Okay, intiya, hidup itu adalah pilihan guys. Berani memilih berarti harus berani bertanggung jawab. Belakangan ini gue sering membahas masalah masa depan gue. Jadi kalo gue tetep milih pertandingan itu, gue pasti kehilangan 1 waktu gue untuk menggapai cita-cita gue. Lagi pula gue yakin, Seno juga ga bakal setuju kalo gue tetep nekat ke pertandingan. Jadi gitu guys, gue memilih menghabiskan waktu untuk belajar ditemenin pacar gue hari ini karna minggu ini gue harus Ulangan Tengah Semester. hahaha thanks.

Jumat, 12 Oktober 2012

Bayang - bayang Semu

          Sebuah harapan kelabu memancarkan auranya disekitar jiwa dan ragaku. Menyelimuti kepercayaanku dengan asap putih kehitaman. Harapan itu terlihat seperti senja yang turun di ujung pantai dan diiringi dengan desiran ombak berwujud mulut raksasa. Awan hitam mulai menggelapi sebagian bumi yang aku pijak. Warna matahari yang siang tadi berwarna kuning cerah, telah berubah menjadi warna orange kemerahan. Aku rasa, semua ini mendukung suasana hatiku yang sedang abu-abu, alias antara putih dan hitam. Aku tau senja itu pada akhirnya akan menghilang ditelan malam. Dan akupun tau, harapanku pada akhirnya juga akan tenggelam dalam dusta.
          Setelah lelah berjalan, akupun terdiam. Duduk sendiri, bersandar pada pokok pohon cemara. Mengingatkanku dengan kejadian 2 tahun lalu. Kejadian yang membuat hatiku luluh dengan sejuta kebaikannya. Membuat aku tersipu malu sehingga harus membelakanginya. Lalu kurasakan sentuhan lembut mulai menyentuh tubuhku. Tangannya yang hangat memelukku dengan erat, seperti menyelimutiku dari angin dingin musim penghujan. Dengan suara halus yang keluar dari tenggorokan berjakunnya, ia membisikkan kata-kata janji yang saat ini terasa palsu. Semua harapan dan keyakinan dalam hatiku berawal dari senja itu, tapi akankah berakhir pada senja ini? Semoga tidak.. “Hemm, lagi-lagi sebuah harapan mengetuk hatiku”, gumamku dalam hati.
          Matahari sepenggal lagi akan tenggelam. Membuat air mataku mulai memaksa untuk menetes. Dengan keyakinan kepercayaanku yang tersisa, aku barusaha untuk tidak meneteskannya. Mataku mulai melakukan pandangan kosong yang melihat ke sekitarku, namun ia mengatakan bahwa disini memang hanya ada hawa cinta dariku tanpa ada seorangpun membalasnya. Sepenggal matahari seperti membawa sepenggal kata manis yang pernah terdengar oleh telingaku. Kenapa matahari itu ingin tenggelam? Tak sadarkan matahari bahwa cahayanya itu mengandung sedikit cintanya. Bagaimana kalau matahari itu tetap ingin tenggelam? Mungkinkah cinta didalamnya itu akan ikut tenggelam? Perlahan kupejamkan mata sehingga meneteskan sedikit air mataku yang sejak tadi mengantri untuk berjatuhan. Tanpa sadar tanganku bergerak mengangkat sapu tangan yang tergeletak dipangkuanku. Dan tanganku membantu sapu tangan untuk mengelap air mataku. Sejenak aku tersadar, ini tanganku, bukan tangannya lagi L
          Tanpa mengetahui sudah berapa lama aku duduk disini. Aku mulai menyadari, seseorang yang ku nanti tak kunjung datang. Walaupun aku merasakan kehadirannya. Tapi aku tidak mampu untuk melihatnya. Harus dengan apa aku melihatnya, menyentuhnya, dan mendekap tubuh hangatnya. Aku ingin dia datang untukku, bukan untuk yang lain. Ku pandang tajam tangan yang pernah digenggamnya, lalu kupandang lemas tangan yang kini digenggamnya. Terasa panas tangan ini. Sampai panasnya menjalar terkena hati. Rasanya panas, sakit, sungguh perih yang menyiksa. Air mataku tidak bisa berhenti menetes. Sambil menatap matahari yang kira-kira hanya tinggal 2 cm lagi tenggelam, aku kembali berharap.
          Hari mulai malam, angin dingin perlahan menusuk kulit tipisku. Aku memutuskan untuk segera mengenakan jaket dan membiarkan tanganku mendekap tubuhku sendiri. Lalu, sekali lagi ku coba melihat ke sekitarku, hanya terlihat secarik foto pernikahan yang membakar hangus hatiku. Ku taburi foto itu dengan butiran pasir halus. Aku segera mengangkat tubuhku untuk segera berdiri, dengan tatapan kosong lagi aku berjalan meninggalkan semua cerita pendustaan ini. Pandangan kosongku meniadakan orang-orang yang ada disekitarku. Mereka telah menikah, orang-orang itu membuat harapanku hancur lebur hanya karna kata “Sah” yang mereka ucapkan setelah pengantin mengucap ijab qobul. Yasudahlah, Aku memang pulang dengan kekecewaan. Harapanku benar-benar harapan kosong. Namun aku mengerti, tak perlu ini ku jadikan dendam. Kelak, aku pasti akan mendapatkan yang lebih baik dari dirinya. Biarlah kekecewaan ini menjadi bayang-bayang semu.. :’)