Sebuah harapan kelabu memancarkan
auranya disekitar jiwa dan ragaku. Menyelimuti kepercayaanku dengan asap putih kehitaman.
Harapan itu terlihat seperti senja yang turun di ujung pantai dan diiringi dengan
desiran ombak berwujud mulut raksasa. Awan hitam mulai menggelapi sebagian bumi
yang aku pijak. Warna matahari yang siang tadi berwarna kuning cerah, telah berubah
menjadi warna orange kemerahan. Aku rasa, semua ini mendukung suasana hatiku
yang sedang abu-abu, alias antara putih dan hitam. Aku tau senja itu pada
akhirnya akan menghilang ditelan malam. Dan akupun tau, harapanku pada akhirnya
juga akan tenggelam dalam dusta.
Setelah lelah berjalan, akupun terdiam.
Duduk sendiri, bersandar pada pokok pohon cemara. Mengingatkanku dengan
kejadian 2 tahun lalu. Kejadian yang membuat hatiku luluh dengan sejuta
kebaikannya. Membuat aku tersipu malu sehingga harus membelakanginya. Lalu kurasakan
sentuhan lembut mulai menyentuh tubuhku. Tangannya yang hangat memelukku dengan
erat, seperti menyelimutiku dari angin dingin musim penghujan. Dengan suara
halus yang keluar dari tenggorokan berjakunnya, ia membisikkan kata-kata janji
yang saat ini terasa palsu. Semua harapan dan keyakinan dalam hatiku berawal
dari senja itu, tapi akankah berakhir pada senja ini? Semoga tidak.. “Hemm,
lagi-lagi sebuah harapan mengetuk hatiku”, gumamku dalam hati.
Matahari sepenggal lagi akan
tenggelam. Membuat air mataku mulai memaksa untuk menetes. Dengan keyakinan
kepercayaanku yang tersisa, aku barusaha untuk tidak meneteskannya. Mataku
mulai melakukan pandangan kosong yang melihat ke sekitarku, namun ia mengatakan
bahwa disini memang hanya ada hawa cinta dariku tanpa ada seorangpun
membalasnya. Sepenggal matahari seperti membawa sepenggal kata manis yang
pernah terdengar oleh telingaku. Kenapa matahari itu ingin tenggelam? Tak sadarkan
matahari bahwa cahayanya itu mengandung sedikit cintanya. Bagaimana kalau
matahari itu tetap ingin tenggelam? Mungkinkah cinta didalamnya itu akan ikut
tenggelam? Perlahan kupejamkan mata sehingga meneteskan sedikit air mataku yang
sejak tadi mengantri untuk berjatuhan. Tanpa sadar tanganku bergerak mengangkat
sapu tangan yang tergeletak dipangkuanku. Dan tanganku membantu sapu tangan
untuk mengelap air mataku. Sejenak aku tersadar, ini tanganku, bukan tangannya
lagi L
Tanpa mengetahui sudah berapa lama aku
duduk disini. Aku mulai menyadari, seseorang yang ku nanti tak kunjung datang. Walaupun
aku merasakan kehadirannya. Tapi aku tidak mampu untuk melihatnya. Harus dengan
apa aku melihatnya, menyentuhnya, dan mendekap tubuh hangatnya. Aku ingin dia
datang untukku, bukan untuk yang lain. Ku pandang tajam tangan yang pernah
digenggamnya, lalu kupandang lemas tangan yang kini digenggamnya. Terasa panas
tangan ini. Sampai panasnya menjalar terkena hati. Rasanya panas, sakit,
sungguh perih yang menyiksa. Air mataku tidak bisa berhenti menetes. Sambil
menatap matahari yang kira-kira hanya tinggal 2 cm lagi tenggelam, aku kembali
berharap.
Hari mulai malam, angin dingin perlahan
menusuk kulit tipisku. Aku memutuskan untuk segera mengenakan jaket dan
membiarkan tanganku mendekap tubuhku sendiri. Lalu, sekali lagi ku coba melihat
ke sekitarku, hanya terlihat secarik foto pernikahan yang membakar hangus
hatiku. Ku taburi foto itu dengan butiran pasir halus. Aku segera mengangkat
tubuhku untuk segera berdiri, dengan tatapan kosong lagi aku berjalan meninggalkan
semua cerita pendustaan ini. Pandangan kosongku meniadakan orang-orang yang ada
disekitarku. Mereka telah menikah, orang-orang itu membuat harapanku hancur lebur
hanya karna kata “Sah” yang mereka ucapkan setelah pengantin mengucap ijab
qobul. Yasudahlah, Aku memang pulang dengan kekecewaan. Harapanku benar-benar
harapan kosong. Namun aku mengerti, tak perlu ini ku jadikan dendam. Kelak, aku
pasti akan mendapatkan yang lebih baik dari dirinya. Biarlah kekecewaan ini
menjadi bayang-bayang semu.. :’)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar