Sebelumnya, aku tidak pernah
menginginkan dia. Aku hanya sekedar penasaran dengan cerita buruk serta
keangkuhannya yang sering aku dengar dari saudaraku saat ia harus berhadapan
denganya. Niatku bukan untuk menjalani hidup dengannya, tapi hanya untuk tau
seberapa buruk dia dan mampukah aku menaklukannya. Ini adalah sebuah keisengan
yang tidak bisa dikembalikan seperti semula karena aku tidak bisa memutar keadaan
setelah aku mengenalnya dan bukan dia yang menjadi takluk tapi justru aku yang
luluh karena kebaikan dan semua perlakuan baiknya yang tidak sejalan dengan apa
yang aku pikirkan. Seharusnya aku tidak bermain-main dengan panah asmara yang
mampu membutakan mata dan mengubahku 360 derajat. Keburukan yang membuatku
menantang hatinya justru menjadi kekuatan baginya untuk tetap terjatuh ke dalam
perangkapku sehingga bisa lebih dekat denganku. Sesuatu yang membuatku sungguh
tak berdaya adalah saat dia menunjukkan sifat aslinya yang ternyata merupakan
sifat seorang pria yang selama ini menjadi tipe ku. Sifat “Royal” yang sudah
menjadi kebiasaan itu membawanya untuk selalu mengutamakan wanita (aku),
mengetahui dia merupakan “Pemusik “yang “Romantis” adalah magnet yang paling
kuat untuk menarikku saat itu, dan yang paling aku harapkan dari laki-laki yaitu
tak ada apapun yang lebih baik dari “Kejujuran” dan itu menjadi prinsip hidupnya.
Tidak terpikirkan olehnya untuk ragu ataupun malu mengungkap semua baik-buruk
dari dirinya dan entah mengapa aku merasa sanggup menerima segala kelebihan dan
kekurangan itu. Aku merasa menjadi wanita yang beruntung karena aku menemukan lelaki pujaanku dan juga
merasa sial karena tidak mengenalnya sejak dulu.
Tapi entah mengapa, aku belum bisa
menerima kalau harus dia orang yang aku dambakan. Karena itu aku mencoba
menjauh darinya sampai beberapa kali, namun aku tidak bisa mengelak dari
kenyataan bahwa aku telah masuk ke dalam jaringnya sehingga aku merasa takut
kehilangan saat ia hendak beranjak pergi meskipun saat itu aku tidak
menginginkannya. apa yang telah aku lakukan sehingga ini harus terjadi padaku
dan seperti jelas memberi kebahagiaan yang tak terelakan untukku. Dia tidak
sebanding dengan laki-laki manapun yang pernah aku kenal karena hanya dia yang
memenuhi syarat idamanku, dia yang bisa melengkapi aku dan aku tidak keberatan
untuk memaklumi kekurangannya. Sudah jelas aku harus bersamanya meskipun masih
banyak hal yang belum aku ketahui tentangnya. Seringkali aku merasa bersyukur
karena banyak kecocokan antara kami, tapi kadangkala pasti ada rasa sesal
karena aku belum terlalu dalam memahami dirinya. Jika dibandingkan, aku dan dia
adalah dua patung yang saling berbalikkan dengan hati beku dan keras kepala. Ini
adalah masalah “Cuek Vs Possesif”, dari awal aku berpikir bawha keadaan saling
melengkapi ini adalah sebuah kesempurnaan yang telah ditakdirkan untuk kami. Tapi
semakin kami dewasa, kedua sifat itu semakin melekat pada diri kami dan tidak
ada satupun dari kami yang mampu memaklumi satu sama lain. Aku senang karena
dia lelaki possesif yang tak pernah bosan memperhatikanku baik itu penting
ataupun tidak penting menurut orang lain karena baginya apapun tentangku adalah
penting. Sebagai seorang wanita normal, aku pasti merasa bahagia dengannya jika
ia tetap selalu seperti itu. Tapi, ketika aku tidak mampu membalas semua
kebaikannya dan saat dia mulai lelah menunggu berharap aku akan
memperhatikannya seperti itu juga, dia yang lembut dan penyayang bisa berubah
menjadi musang berekor sembilan yang tidak terkendali. Aku selalu ingat
bagaimana mata, lidah dan tangan mengusir segala kebaikannya dalam sehela
nafas. Ini kesalahanku, karena bagaimana dengan Aku? Tadinya aku tidak mengira
bahwa aku bisa sama sekali cuek tentangnya dan mungkin itu terjadi karena aku
merasa berharga untuknya. Aku bukan tidak peduli sedikitpun, hanya saja aku
tidak tau bagaimana aku harus menunjukkan betapa aku mengkhawatirkannya namun
tetap memikirkan diriku sendiri. Dan ternyata hal itu adalah bencana bagi kami.
Keadaan kini berubah secara perlahan, ketidakcocokan mulai menggantikan rasa
nyaman dan meretakkan tali yang sebelumnya keras dan berkilau seperti emas. Kata
maaf tidak akan cukup untuk menghapus kesalahanku dan memadamkan kemarahannya. Hanya
senyuman rasa terima kasih yang aku harap bisa membuatnya lebih berharga. Aku memang
orang yang “Egois” dan tidak berhak memiliki pilihan. Aku juga tidak tau,
sampai kapan aku akan seperti ini dan bagaimana agar aku tidak mengecewakannya
lagi? Mungkin sekarang aku hanya belum siap untuk mengutamakannya, tapi entah
kapan aku akan bisa melakuannya. Aku belum siap meninggalkan “apa yang aku
lakukan”. Tolong, jangan paksa aku untuk memohon kepadamu “jangan tinggalkan
aku”.